Monday, April 29, 2013



REPRESENTASI KEKUASAAN DALAM STRATEGI TUTUR DALAM WACANA KELAS

A.    Representasi Kekuasaan dalam Pengendalian Topik Tuturan
Pengendalian topik tuturan dalam wacana kelas dapat diidentifikasi dari tiga hal, yakni dari strategi pengenalan topik tuturan, strategi pengembangan topik tuturan, dan strategi menutupan topik tuturan. Gejala itu dapat terjadi dalam berbagai konteks, baik dalam konteks pemberian pengarahan pada awal semester, pembelajaran di kelas, maupun praktikum di laboraterium. Masing-masing strategi pengendalian topik tuturan tersebut memrepresentasikan kekuasaan dengan strategi dan kadar dominasi yang beragam. 

1.      Representasi Kekuasaan dalam Pengenalan Topik Tuturan
Pengenalan topik tuturan merupakan tindakan kompleks. Tindakan ini memerlukan kesesuaian tindak tutur dan waktu penggunaannya, terkait dengan penggenalan topik tuturan, Bublitz ( 1988:42 ) menyebutkan tiga kemungkinan terjadinya pengenalan topik dalam percakapan, yakni (1) pada saat memulai percakapan, yang dalam konteks itu peserta tutur memperkenalkan topik pertama setelah terlibat dalam percakapan ; (2)  selama kegiatan percakapan, yang dalam konteks itu peserta tutur mengubah topik sebelumnya dengan menutup dan menggantikannya dengan topik yang baru ; dan (3) setelah terjadi penyimpangan yang di dahului oleh sejumlah gangguan.
Berdasarkan hasil kajian ini ada 3 strategi pengenalan topik tuturan dalam wacana kelas, yakni (a) pengenalan topik tuturan dengan strategi pemaparan langsung, (b) pengenalan topik tuturan dengan strategi apersepsi, dan (c) pengenalan topik tuturan dengan strategi negosiasi topik.
2.   Representasi Kekuasaan dalam Pengembangan Topik Tuturan
Topik tuturan bukan saja dapat dikendalikan pengenalannya, tetapi juga pengembangannya. Dalam suatu percakapan, pengenalan topik menjadi tumpuan bagi para peserta tutu untuk memberikan kontribusi. Bublitz ( 1988:86) menyatakan bahwa penutur yang memprkenalkan topik berada dalam posisi membentuk kerangka pengikat bagi tuturan penutur berikutnya.
            Berdasarkan hasil kajian ini terungkap berbagai  strategi pengembangan topik tuturan , antara lain pengembangan topik tuturan melalui strategi : (a) pemberian contoh, (b) pemberian argumentasi, (c) pemberian perbandingan, (d) pemberian definisi, (e) pemberian rincian, (f) pemberian tindakan proses, dan (g) pemberian klasifikasi.

3.      Representasi Kekuasaan dalam Penutupan Topik Tuturan
           Selain tindakan memperkenalkan dan mengembangkan topik, tindakan menutup topik tuturan juga merupakan unsur yang selalu ada di dalam wacana. Menurut Schegloff dan Sacks ( dalam Bublitz, 1988:130), secara formal tidak ada bedanya antara penutupan di akhir tuturan dengan penutupan topik ketika akan terjadi pergantian topik. Namun, Bublitz menyatakan sebaliknya, yakni bahwa kita perlu membedakan secara cermat penutupan topik pada dua konteks itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan strategi penutupan topik pada saat proses pembelajaran dan penutupan topik pada saat proses mengakhiri pembelajaran.

a.      Representasi Kekuasaan dalam Penutupan Topik tuturan pada saat Proses Pembelajaran
Ditinjau dari peran institusional, guru mempunyai legitimasi untuk mengatur semua proses pembelajaran, termasuk tindakan menutup tuturan. Jika dalam konteks tertentu siswa juga melakukan tindakan menutup topik tuturan, hal itu karena perannya di dalam proses diskusi ataupun presentasi tugas secara individual. Namun, secara umum, penutupan topik tuturan tetap wewenang guru.
Sama halnya dengan pengenalan dan pengembangan topik, tindakan menutup topik tuturan juga mempunyai strategi. Masing- masing strategi itu, merepresentasikan kekuasaan yang tingkat dominasinya dapat dilihat dari mekanisme dan fungsi penutupan topik itu. Dari hasil kajian ini terungkap sejumlah strategi penutupan topik pada saat pembelajaran, yaitu (a) strategi konfirmasi pemahaman, (b) strategi penutupan langsung, (c) strategi pemberian penguatan, (d) strategi interupsi, dan (e) strategi konfirmasi persetujuan.
b.      Representasi Kekuasaan dalam Penutupan Topik Tuturan pada Saat Mengakhiri Pembelajaran
Penutupan topik tuturan pada saat pembelajaran dimaksudkan sebagai tindakan transisi sebelum terjadinya pergantian topik tuturan yang baru. Namun, pergantian topik tuturan pada saat pembelajaran. Strategi-strategi itu antara lain (a) penutupan topik tuturan dengan strategi menunjukkan jam pembelajaran berakhir, (b) penutupan topik tuturan dengan memberikan rangkuman, (c) penutupan topik tuturan dengan memberikan klarifikasi, (d) penutupan topik tuturan dengan strategi memberikan tes, (e) penutupan topik tuturan dengan  strategi memberikan tugas, (f) penutupan topik tuturan dengan strategi memberikan komentar kritis.
Secara teknis, penutupan topik pada akhir pembelajaran dapat diartiakan sebagai suatu tindakan pemberian pengarahan tentang penyelesaian pembelajaran. Menurut Brown (1991:201), ada dua aspek penting dari penutupan topik tuturan pada saat pembelajaran berakhir, yakni aspek kognitif dan aspek sosial.
B.      Representasi Kekuasaan dalam Interupsi
Dalam suatu percakapan biasanya terdapat prinsip-prinsip umum yang cenderung dipahami bersama oleh para peserta tutur. Prinsip-prinsip itu antara lain, pertama, dari sekian banyak peserta tutur yang terlibat dalam percakapan, hanya ada satu partisipan yang bertutur pada satu waktu. Kedua, dalam percakapan terdapat tempat transisi relevansi (transition-relevance pleace) yang cocok digunakan oleh peserta tutur untuk mengambil giliran tutur. Namun, dalam konteks tertentu, prinsip-prinsip itu dilanggar oleh para peserta tutur, misalnya dengan tindakan interupsi.
Interupsi merupakan bentuk pelanggaran kaidah giliran tutur. Interupsi terjadi ketika T mulai bertutur, padahal P masih belum selesai bertutur. Menurut Coates (1991:99), interupsi merusak kesetaraan model percakapan karena penginterupsi menghalangi P dari penyelesaian tuturan mereka dan pada saat yang sama T memenangkan sebuah giliran untuk dirinya sendiri.
Ditinjau dari persektif etnografi komunikasi, representasi tratregi kekuasaan dalam interupsi juga dipengaruhi oleh komponen tutur. Terkait dengan hasil kajian ini, perbedaan peran dan tujuan tutur berpengaruh terhadap karakteristik strategi kekuasaan. Oleh karena itu, dalam wacana kelas, bisa terjadi interupsi dari siswa kepada siswa lain, dari guru kepada siswa, tetapi tidak pernah terjadi dari siswa ke guru. Akan tetapi, dalam budaya yang egaliter, mungkin saja siswa menginterupsituturan guru.
Tujuan tutur yang berpengaruh terhadap representasi strategi kekuasaan dalam wacan kelas tentunya tujuan ynag terkait dengan aspek pendidikan dan pengajaran. Dari hasil kajianini terungkap sejumlah tujuan yang mendorong penggunaan interupsi dalam wacana kelas, yakni interupsi digunakan dalam konteks;
a.       Memperbaiki sikap tutur siswa
b.      Menorong siswa bertutur dengan volume keras
c.       Memperbaiki cara bertutur siswa
d.      Menghentikan kegaduhan di kelas
e.       Membetulkan jawaban siswa
f.       Menghentikan keraguan siswa
g.      Memberi klarifikasi
h.      Memberikan penguatan
C.     Representasi kekuasaan dalam Overleping
Sebagian pakar cenderung memberikan interupsi dan overleping (over lapping). Zimmerman dan West (1975) (dalam tannen, 1994:57), misalnya bahwa jika T mulai bertutur pada TRP, hal itu dianggap sebagai overleping. Namun, juka T mulai bertutur bukan pada TRP, hal itu dianggap sebagai interupsi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa overleping akan terjadi jika dalam suatu percakapan T mulai bertutur ketika tuturan T sudah mencapai TRP, sedangkan interupsi terjadi jika T memulai bertutur, padahal tuturan P belum mencapai TRP. Oleh karena itu, Coates (1991:99) menganggap bahwa overleping tidak melanggar giliran tutur, seangkan interupsi melanggar giliran tutur.
Hasil kajian ini menunjuk kan bahwa para peserta tutur dalam wacana kelas sering menggunakan overleping ketika terjadi proses pembelajaran. Guru bukanlah satu-satunya peserta tutur yang melakukan overleping. Dalam konteks tertentu, siswa pun dapat melakukan overleping terhadap tuturan duru dan lebih-lebih terhadap tuturan siswa lain. Pada umumnya penggunaan overleping dalam wacana kelas sangat ditentukan oleh tujuan tutur yang tidak jauh berbeda dengan penggunaan interupsi. Tujuan itu menyangkut proses pencapaian target aspek pendidikan dan pengajaran.
Dari hasil kajian ini terungkap sejumlah tujuan tutur yang mendorong digunakan overleping. Tindakan overleping dilakukan dalam konteks,
a)      memperbaiki jawaban siswa
b)      member penguatan
c)      mengatasi kebingungan
d)     melakukan konfirmasi.


kepada teman-teman yang ingin bertanya, batas waktunya sampai hari rabu jam 6 sore.



7 comments:

  1. Rizky Setiawan
    NIM A1B110039

    "Interupsi di kelas dapat menghentikan keraguan siswa."
    Bagaimana maksudnya ya?
    Kalau dari gambaran di benak saya, tidak melakukan interupsi pada tuturan siswa malah dapat melatih siswa untuk menyelesaikan tuturannya dan menghentikan keraguan siswa dalam berpendapat.
    Terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mencoba menjawab pertanyaan iki..
      Menghentikan keraguan siswa disini maksudnya siswa yg masih kurang paham atau masih ragu dgn materi pembelajaran yg diterimanya.
      Contoh:
      Guru: “ … dalam paragraf itu ada yg namanya gagasan utama, kalimat utama..
      Siswa: “ kalimat utama?
      Guru: “ gagasan utama adalah ide atau gagasan utama yg mengembangkan suatu paragraf sedangkan kalimat utama biasanya terletak di awal kalimat, di akhir dan bisa juga di wal dan di akhir.

      Delete
  2. Nama: Mahdalena
    Nim: A1B110003
    kelompok tadi mengatakan bahwa dalam budaya yang egaliter, mungkin saja siswa menginterupsi tuturan guru.
    yang ingin saya tanyakan, Apakah yang dimaksud dengan budaya egaliter dan berikan contoh tuturannya?

    Terimakasih.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. SYIFA AULIA A1B110041


      Baiklah, saya mencoba menanggapi pertanyaan Mahdalena. Sepengetahuan saya budaya egaliter adalah budaya yang mengangap bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, jadi pada pandangan egaliter ini tidak ada yang namanya senior dan junior, atasan dan bawahan, juga guru dan murid, dsb. Sehingga kalau dalam tindak tutur dalam kelas, tidak adanya kekuasaan sepihak oleh guru saja, sehingga murid leluasa memilih dan bertindak tanpa ada paksaan atau dekte dari guru. Budaya egaliter inilah yang memungkinnya siswa menginterupsi tuturan guru. Sebenarnya kalau di Indonesia budaya egaliter ini belum terlalu diterima karena berkaitan dengan tatakrama. Bagaimanapun sekarang ini masih ada jarak antara guru dan siswa, atasan dan bawahan, atau antara senior dan junior. Sekarang pendidikan sudah berpusat kepada siswa bukan hanya guru, sehingga diharapkan pengetahuan siswa jauh lebih luas dari apa yang didektekan oleh gurunya. Sehinga besar kemungkinan terjadi interupsi oleh siswa terhadap gurunya ketika ada hal-hal yang tidak satu pemikiran karena luasnya pengetahuan mereka.

      Terimakasih. .

      Delete
  3. HERMAWATI
    A1B110012

    Dari hasil kajian terungkap sejumlah strategi penutupan topik pada saat pembelajaran, yaitu (a) strategi konfirmasi pemahaman, (b) strategi penutupan langsung, (c) strategi pemberian penguatan, (d) strategi interupsi, dan (e) strategi konfirmasi persetujuan.
    Jelaskan masing-masing strategi tersebut

    ReplyDelete
  4. Muklis Dwi Putra
    A1B110038

    Saya akan menanggapi pertanyaan saudara Hermawati.
    a. Strategi konfirmasi pemahaman adalah strategi seorang guru untuk menguji pemahaman siswa. misalnya saat mengahiri sebuah topik pembelajaran seorang guru menanyakan kepada siswanya apakah ada yang masih kurang paham atau sudah paham semua.
    b. Strategi penutupan langsung adalah strategi seorang guru menutup sebuah topik pembelajaran secara langsung tanpa memberikan pertanyaan kepada siswanya karena siswa dianggap sudah memahami materi pembelajaran.
    c. Strategi pemberian penguatan adalah strategi untuk memberikan penguatan kepada siswa. Dengan cara verbal memuji siswa atau dengan cara non-verbal memberikan tepuk tangan.
    d. Strategi interupsi adalah strategi menutup topik pembelajaran dengan cara menghentikan pembelajaran secara langsung. meskipun masih ada materi yang belum selesai dibahas. Strategi ini dilakukan jika waktu pembejaran sudah selesai atau ada sesuatu hal yang mengharuskan guru untuk menghentikan proses pembelajaran.
    e. Strategi konfirmasi pembelajaran adalah strategi menutup pelajaran dengan meminta persetujuan siswa untuk mengakhiri pembelajaran.
    Contoh:
    Guru: "Anak-anak, karena materi hari ini sudah selesai. Sekarang kita bisa mengakhiri pelajaran hari ini lebih awal. Bagaimana kalian setuju sajakan?"
    Siswa: (dengan gembira siswa menjawab) "Iya pak Guru."

    ReplyDelete